Analisa Kebijakan Pendidikan tentang Sekolah Berstandar International

By : Fanda – Adpen/Pascasarjana Upi

PENDAHULUAN

Era globalisasi ditandai dengan persaingan sangat ketat dalam bidang teknologi, manajemen dan sumber daya manusia (SDM). Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan penguasaan teknologi agar dapat meningkatkan nilai tambah, memperluas keragaman produk (barang/jasa) dan mutu produk.

Keunggulan manajemen akan meningkatkan efektivitas dan efisien proses peningkatan mutu pendidikan di tanah air. Sedangkan keunggulan SDM akan menentukan kelangsungan hidup, perkembangan dan pemenangan persaingan pada era global ini secara berkelanjutan dengan dukungan teknologi dan manajemen yang kuat sebagai ciri khas sekolah efektif.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu lembaga pendidikan atau sekolah yang bisa menghasilkan SDM yang unggul sehingga bisa bersaing dalam era globalisasi ini. Sekolah atau lembaga pendidikan tersebut yang bertaraf internasional ini disebut dengan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia, berkualitas internasional dan lulusannya berdaya saing internasional. Dimana SBI ini juga merupakan suatu kebijakan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya. Kebijakan pemerintah mengenai SBI tersebut tertuang dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 20/2003): “ Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.”

Kebijakan pemerintah mengenai Sekolah Bertaraf Internasional selain didukung secara konstitusi dalam UU, SBI juga merupakan proyek prestisius, karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.

Selain itu SBI atau Sekolah Bertaraf Internasional di mata masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari bilingual sebagai medium of instruction, multi media dalam pembelajaran di kelas, berstandar internasional, ataupun sebagai sekolah prestisius dengan jalinan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara anggota OECD maupun lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, dan lain-lain.

Dalam makalah singkat ini, penulis ingin menyampaikan pemikiran bagaimana dan apa saja yang diperlukan untuk membangun Sekolah Bertaraf Internasional selain itupula disampaikan pula hasil analisis penulis terhadap kebijakan pemerintah mengenai program Sekolah Bertaraf Internasional.


KONSEP DASAR SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membangun Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sebagai berikut :

  1. Filosofi Eksistensialisme dan Esensialisme

Menurut Haryana (2007), penyelenggaraan SBI didasari filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Filosofi eksistensialisme berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual(IQ), emosional(EQ), dan Spiritual (SQ).

Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional. Dalam mengaktualkan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilainya.

  1. SNP + X (OECD)

Rumusan SNP + X (OECD) maksudnya adalah SNP singkatan dari Standar Nasional Pendidikan plus X. Sedangkan OECD singkatan dari Organization for Economic Co-operation and Development atau sebuah organisasi kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi dan pengembangan. Anggota organisasi ini biasanya memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan yang telah diakui standarnya secara internasional. Yang termasuk anggota OECD ialah: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan Negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore, dan Hongkong (Haryana, 2007;41).

Sebagaimana dalam “Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007”, bahwa sekolah/madarasah internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasioanl Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan /atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum Internasional.

Jadi, SNP+X di atas artinya bahwa dalam penyelenggaraan SBI, sekolah/madrasah harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan (Indonesia), (PP RI Nomor 19, 2005) dan ditambah dengan indikator X, maksudnya ditambah atau diperkaya/dikembangkan/ diperluas/diperdalam dengan standar anggota OECD di atas atau dengan pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya.

Ada dua cara yang dapat dilakukan sekolah/madrasah untuk memenuhi karakteristik (konsep) Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu sekolah yang telah melaksanakan dan memenuhi delapan unsur SNP sebagai indikator kinerja minimal ditambah dengan (X) sebagai indikator kinerja kunci tambahan. Dua cara itu adalah: (1) adaptasi, yaitu penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu (setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional; dan (2) adopsi, yaitu penambahan atau pengayaan/pendalaman/penguatan/ perluasan dari unsur-unsur tertentu yang belum ada diantara delapan unsur SNP dengan tetap mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD/negara maju lainnya seperti yang ditekankan Haryana (2007).

  1. Karakteristik Sekolah Bertaraf Internasional

1). Karakteristik visi dan misi

Menurut Haryana (2007), Visi Sekolah Bertaraf Internasional adalah: Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional. Visi SBI dirancang agar memenuhi tiga indicator yaitu (1) mencirikan wawasan kebangsaan, (2) memberdayakan seluruh potensi kecerdasan (multiple inteligencies) dan (3) meningkatkan daya saing global.

Sedangkan Misi SBI merupakan jabaran Visi SBI yang dirancang untuk dijadikan rujukan dalam menyusun/mengembangkan rencana program kegiatan (action plan). Indikator untuk menyusun misi terangkum dalam akronim SMART, yaitu (1) Specifis, (2) Measurable (terukur), (3) Achievable (dapat dicapai), (4) Realistic dan (5) Time Bound (jelas jangkauan waktunya).

2). Karakteristik Esensial

Karakteristik esensial dalam indikator kunci minimal (SNP) dan indikator kunci tambahan (x) sebagai jaminan mutu pendidikan bertaraf internasional dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Karakteristik Esensial SNP-SBI sebagai Penjaminan Mutu Pendidikan Bertaraf Internasional.

No

Obyek Penjaminan Mutu (unsur Pendidikan dalam SNP)

Indikator Kinerja Kunci Minimal (dalam SNP)

Indikator Kinerja Kunci Tambahan sebagai (x-nya)

I

Akreditasi

Berakreditasi A dari BAN-Sekolah dan Madrasah

Berakreditasi tambahan dari badan akreditasi sekolah pada salah satu lembaga akreditasi pada salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan

II

Kurikulum (Standar Isi) dan Standar Kompetensi lulusan

Menerapkan KTSP

Sekolah telah menerapkan system administrasi akademik berbasis teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dimana setiap siswa dapat mengakses transkipnya masing-masing.

Memenuhi Standar Isi

Muatan pelajaran (isi) dalam kurikulum telah setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau dari negara maju lainnya.

Memenuhi SKL

Penerapan standar kelulusan yang setara atau lebih tinggi dari SNP

Meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.

III

Proses Pembelajaran

Memenuhi Standar Proses

· Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran telah menjadi teladan atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa kewirausahaan, jiwa patriot, dan jiwa inovator

· Proses pembelajaran telah diperkaya dengan model-model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya.

· Penerapan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mapel

· Pembelajaran pada mapel IPA, Matematika, dan lainnya dengan bahasa Inggris, kecuali mapel bahasa Indonesia.

IV

Penilaian

Memenuhi Standar Penilai-an

Sistem/model penilaian telah diperkaya dengan sistem/model penilaian dari sekolah unggul di salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnnya.

V

Pendidik

Memenuhi Standar Pen-didik

· Guru sains, matematika, dan teknologi mampu mengajar dengan bahasa Inggris

· Semua guru mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK

· Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A

VI

Tenaga Kependidikan

Memenuhi Standar Tenaga Kependidikan

· Kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A

· Kepala sekolah telah menempuh pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh Pemerintah

· Kepala sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif

· Kepala sekolah memiliki visi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan enterprenual yang kuat

VII

Sarana Prasarana

Memenuhi Standar Sarana Prasarana

· Setiap ruang kelas dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK

· Sarana perpustakaan telah dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia

· Dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olah raga, klinik, dan lain-lain.

VIII

Pengelolaan

Memenuhi Standar Pengelolaan

· Sekolah meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya (2001, dst) dan ISO 14000

· Merupakan sekolah multi kultural

· Sekolah telah menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf/berstandar internasional diluar negeri

· Sekolah terbebas dari rokok, narkoba, kekerasan, kriminal, pelecehan seksual, dan lain-lain

· Sekolah menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam semua aspek pengelolaan sekolah

IX

Pembiayaan

Memenuhi Standar Pem-biayaan

· Menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan

3). Karakteristik Penjaminan Mutu (Quality Assurance)

a). output (produk)/lulusan SBI; adalah memiliki kemampuan-kemampuan bertaraf nasional plus internasional sekaligus, yang ditunjukkan oleh penguasaan SNP Indonesia dan penguasaan kemampuan-kemampuan kunci yang diperlukan dalam era global. Ciri-ciri output/outcomes SBI sebagai berikut; (1) lulusan SBI dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam negeri maupun luar negeri, (2) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain.

b). proses pembelajaran SBI

Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery, (2) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; student centered; reflective learning, active learning; enjoyable dan joyful learning, cooperative learning; quantum learning; learning revolution; dan contextual learning, yang kesemuanya itu telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, dan (6)dalam penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen intenasional, yaitu mengoimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, dan menjalin hubungan sister school dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.

c). input

ciri input SBI ialah (1) telah terakreditasi dari badan akreditasi sekolah di salah negara anggota OECD atau negara maju lainnya, (2) standar lulusan lebih tinggi daripada standar kelulusan nasional, (3) jumlah guru minimal 20% berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif. Kepala sekolah minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif. (4) siswa baru (intake) diseleksi secara ketat melalui saringan rapor SD, ujian akhir sekolah, scholastic aptitude test (SAT), kesehatan fisik, dan tes wawancara. Siswa baru SBI memiliki potensi kecerdasan unggul yang ditunjukkan oleh kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan berbakat luar biasa.

  1. Tahap Pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional

Pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional meliputi 3 tahap sebagai berikut :

a. Tahap Pendampingan (tahun pertama, kedua dan ketiga)

b. Tahap Pemberdayaan (tahun keempat dan kelima)

c. Tahap Mandiri (mulai tahun ke-6)

  1. Lembaga Terkait

Program pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional ini memerlukan dukungan dari lembaga terkait yaitu Sekolah, Komite sekolah, Pemda dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Pemda dan Dinas Pendidikan Provinsi, Dikdasmen

Bentuk dukungan antara lain pembinaan melalui kebijakan yang mendukung pengembangan SBI, fasilitas, dana, manajemen dsb.


ANALISIS KEBIJAKAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL

SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia, berkualitas internasional dan lulusannya berdaya saing internasional. Adapun tujuan utama penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional adalah upaya perbaikan kualitas pendidikan nasional, khususnya supaya eksistensi pendidikan nasional Indonesia diakui di mata dunia dan memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.

Untuk membangun SBI perlu memperhatikan konsep SNP+X dan karakteristik dari SBI itu sendiri. Namun sejak digulirkan kebijakan SBI, pemerintah menuai pujian dan juga kritikan, baik itu pujian bahwa kebijakan SBI merupakan langkah maju untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, maupun kritikan bahwa konsep ini tidak didahului dengan studi secara mendalam. Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah tentang SBI tersebut.

1. Konsep SNP+X kurang jelas

Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP+X. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional. Faktor X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Konsep ini tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi standarnya, dan faktor apa saja yang harus ditambah/diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam. Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga mungkin ini merupakan strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur.

2. Potensi terjadi Sistem Pendidikan yang Bersifat Diskriminatif dan Eksklusif.

Penyelenggaraan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskriminatif (hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan/kecerdasan unggul) dan ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya).

3. SBI lebih cenderung menggunakan perencanaan pendidikan dengan Pendekatan Cost Effectivenes (efektivitas biaya).

Pendekatan Cost Effectiveness adalah pendekatan yang menitikberatkan pemanfaatan biaya secermat mungkin untuk mendapatkan hasil pendidikan yang seoptimal mungkin, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pendidikan ini hanya diadakan jika benar-benar memberikan keuntungan yang relatif pasti, baik bagi penyelenggara maupun peserta didik. Konsekuensi dari pendekatan ini adalah tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di SBI, sebab SBI lebih menekankan efektivitas pendidikan dalam mencapai hasil yang optimal baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga input pun diambil dari anak-anak yang memiliki kemampuan unggul, baik secara akademik, emosional, spiritual bahkan finansial.

4. Potensi terjadi komersialisasi pendidikan

Lahirnya SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain.

5. Tujuan pendidikan yang misleading

Selama ini siswa SBI dihadapkan pada 2 kiblat ujian, yakni UNAS dan Cambridge misalnya. Beberapa sekolah nasional plus yang selama ini dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit mereka untuk mengikuti dua kiblat sekaligus.

Penentuan kiblat ini perlu dipertimbangkan lagi karena jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.

6. Konsep SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses.

Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan SBI lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Prof Djohar menyatakan bahwa tuntutan pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa kita untuk hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup nyata mereka.

7. Konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL.

Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL >500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance-nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic.

8. Kebijakan SBI bertolak belakang dengan otonomi sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut Prof. Djohar, MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya. Sedangkan dalam SBI, sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain.

9. Suatu usaha pembodohan dan pengelabuan dari sekolah kepada masyarakat.

Dengan program SBI ini Depdiknas memberikan persepsi yang keliru kepada para orang tua, siswa, dan masyarakat bahwa sekolah-sekolah yang ditunjuknya menjadi sekolah Rintisan tersebut adalah sekolah yang ‘akan’ menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai atau bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Dan ini adalah sama dengan menanam “bom waktu’. Banyak sekolah yang jelas-jelas hendak memberi persepsi kepada masyarakat bahwa sekolah mereka telah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dan bukan sekedar ‘rintisan’ lagi. Suatu usaha pembodohan dan pengelabuan dari sekolah kepada masyarakat.

Mengingat betapa banyaknya kelemahan yang ada dari program SBI ini dan besarnya resiko gagal yang dihadapinya, sudah selayaknya Depdiknas mengevaluasi diri dengan lebih membuka diri terhadap masukan dari masyarakat. Mungkin formulasi kebijakan di Depdiknas (dalam hal seperti SBI ini) perlu melalui proses konsultasi pada publik atau stakeholders berkali-kali dan studi yang lebih mendalam dengan melibatkan lebih banyak publik, dan tidak sekedar memenuhi syarat minimal birokrasi. Mengenai UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang telah ‘terlanjur’ dipersepsikan harus mengadopsi kurikulum Cambridge dan IB tersebut maka sebaiknya diberikan dua alternatif untuk itu. Pertama, pasal tersebut perlu diamandemen dan disesuaikan bunyinya agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru, atau, kedua, merumuskan kembali apa yang disebut dengan ‘satuan pendidikan bertaraf internasional’ tersebut. Solusinya adalah program SBI ini harus dirumuskan ulang. Jika tidak maka arah pendidikan nasonal kita akan semakin melenceng dari tujuan dan amanah bangsa dan negara kita.


PENUTUP

Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar mempunyai daya saing dengan negara maju di era global. Salah satunya dengan mengadopsi standar internasional anggota OECD sebagai faktor kunci tambahan di samping Standar Nasional Pendidikan.

Dalam perjalanannya, kebijakan SBI mulai terlihat beberapa kelemahan, baik secara konseptual maupun sistem pembelajarannya maka pemerintah sebaiknya melakukan pelbagai langkah perbaikan konsep dengan melibatkan pelbagai unsur/stakeholders pendidikan dan melakukan studi/penelitian mendalam terhadap kebijakan tersebut. Kemudian dari hasil studi/penelitian tersebut maka kebijakan tentang program SBI ini dirumuskan ulang agar sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasonal kita.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. WIPRESS

Anonim, 2006. Rencana Startegis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Bush, Tony & Coleman, Merianne. 2006. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan.(terj.) oleh Fahrurozi. Yogyakarta: IRCiSoD.

Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta: CV. Grafika Indah.

Haryana, Kir. 2007. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

Usman, Husaini. 2006. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.hal 59

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed